Home »
Dialektika
» Rekonstruksi Pesantren Masa Depan
Rekonstruksi Pesantren Masa Depan
REKONSTRUKSI
PESANTREN MASA DEPAN
Muhammad
Fauzinuddin[1]
Pesantren
adalah dimensi pendidikan yang memiliki elemen-elemen penunjang yang khas, baik
elemen yang bersifat hard-were seperti : masjid, pondok, ruang belajar,
kitab-kitab dan lain sebagainya. Selain itu pesantren mempunyai elemen yang
bersifat soft-were, seperti: tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran,
sistem evaluasi, dan perangkat lainnya yang menunjang proses belajar mengajar.
Dunia
pesantren yang nyaris dipahami oleh masyarakat sebagai dimensi yang tidak
berubah, yang selama ini dianggap simbol kejumudan (kebekuan) dan kemandegan
(stagnasi), pada kenyataanya memiliki dinamika perkembangan yang dinamis, bisa
berubah, mempunyai dasar-dasar yang kuat untuk ikut mengarahkan dan
menggerakkan perubahan yang diinginkan, mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Pesantren bukan berarti tidak memiliki kelemahan dan
kekurangan, untuk itu perlu adanya perbaikan dengan cara melakukan rekonstruksi
terhadap sistem pendidikan yang ada. Keharusan untuk mengadakan rekonstruksi
ini sebenarnya telah dimaklumi. Bahkan dunia pesantren telah memperkenalkan
kaidah yang sangat populer “Al-Muhafazhatu ‘ala al-Qadimi Ash-Shalih wa
al-Akhdzu bi al-jadid al-Ashlah”, mempertahankan tradisi lama yang masih
relevan dan mengambil ide baru yang konstruktif dan prospektif, harus benar-benar
dipegang dan dikembangkan. Disinilah perlunya secara serius digabungkan mainstream
ini (tradisional dan modern) dengan sama-sama kuat, dengan gradualisasi dan
stratifikasi sinergis dan strategis.
Kebebasan
membentuk sistem pendidikan baru merupakan sebuah keniscayaan, asalkan tidak
lepas dari frame of ashlah (bingkai yang lebih baik). Begitu pula,
ketika dunia pesantren diharuskan mengadakan rekonstruksi sebagai konsekuensi
dari progesifitas dunia modern, maka sekali lagi aspek ashlah merupakan kunci
yang harus dipegang. Pesantren modern berarrti pesantren yang selalu tanggap
terhadap perubahan dan tuntutan zaman.
Yang
perlu diperhatikan di sini, rekonstruksi sistem pendidikan pesantren bukan
berarrti merombak seluruh sistem yang ada yang berakibat hilangnya jati diri
pesantren. Sistem pendidikan pesantren tidak seluruhnya baik dan tidak
seluruhnya jelek, untuk itu pimpinan pesantren dituntut untuk dapat memilih dan
memilah mana yang harus diperbaharui dan mana yang harus dipertahankan.
Rekonstruksi
sistem pendidikan pesantren tidak harus merubah orientasi atau mereduksi
orientasi dan idealisme pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-din dalam
pengertian luas yakni diharapkan para santri dan alumninya tidak hanya memahami
pengetahuan agama saja, namun sekaligus memahami muatan ilmu-ilmu umum. Disini
ada beberapa pondok pesantren seperti Gontor, Sidogiri, Darunnajah, Baitul
Arqom, Al-Amin, Nurul Jadid, Darul Ulum, dll telah mengembangkan sistem
kesetaraan (mu’adalah) hal ini juga sekaligus dalam merespon berbagai aspirasi dalam
masyarakat. Pelajaran agama tidak hanya diartikan ilmu-ilmu keagamaan dan
apriori terhadap ilmu pengetahuan dan takhnologi, sehingga diharapkan pesantren
mampu melahirkan ulama-ulama yang intelek yang mampu mencetak Generasi Bangsa
yang Kompeten di Berbagai Bidang dan mampu menjawab tantangan zaman.
Dalam
kondisi demikian, pesantren diharapkan mampu memecahkan tantangan zaman, yang
mengarah pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta informasi. Pencetak generasi bangsa yang
kompeten di berbagai bidang dan yang perlu
dicatat, pesantren harus mempertahankan khazanah luhur pesantren,
khususnya berupa tradisi keilmuan dan budaya yang dikembangkan pesantren.
Kemudian,
untuk mengacu pada perkembangan pesantren, setidaknya ada lima elemen pesantren
yang menjadi titik tolaknya. Kyai, santri, pondok, masjid dan kitab kuning yang
merupakakan lima pilar yang menjadi ruh pesantren. Baik buruknya dan
maju-mundurnya pesantren tergantung pada lima hal pokok tersebut. Dari kelima
hal pokok itulah pesantren dibangun untuk menuju pada keberdayaan pesantren
dalam rangka menuju masyarakat sipil di
Indonesia.
[1] Muhammad Fauzinuddin, Penulis buku Kamus
Kontemporer Mahasantri 3 bahasa, Buku Antologi Bilik-bilik Islam dan Novel Be a
Great Santri serta Pengelola Pesantren Journalism Community (PJC) di Pesantren
Mahasiswa IAIN Surabaya.
Semoga artikel Rekonstruksi Pesantren Masa Depan bermanfaat bagi Anda.
Posting Komentar