Home »
Dialektika
» MENJADIKAN INDONESIA LEBIH BAIK SANTRI DAN POLITIK BANGSA
MENJADIKAN INDONESIA LEBIH BAIK SANTRI DAN POLITIK BANGSA
MENJADIKAN
INDONESIA LEBIH BAIK, SANTRI DAN POLITIK BANGSA
Oleh: Hafidzul Aitam (Mahasiswa Santri PBSB IAIN Semarang)
Perkembangan
masalah dalam kehidupan berbangsa di Indonesia merupakan sebuah tantangan yang
sangat besar. Hal tersebut disebabkan karena berbagai dinamika moralitas dan
hedonisme yang saling bersaing dalam angan para penggerak maupun
Individu-individu Indonesia. Kebesaran ideologi yang ada dan tertanam ditengah
budaya kita semakin hari terkikis dikarenakan berbagai anomali bangsa lain (faktor
kebebasan global dan penyempitan sekat yang memaksakan terjadinya pembauran
term kehidupan) terlalu mengintimidasi perkembangan bangsa kita, dengan
terbukanya akses bebas atas hubungan multilateral negara-negara mengakibatkan
berbagai hal yang tak diinginkan menjangkiti berbagai aspek kehidupan bangsa
baik politik kenegaraan, budaya, ekonomi, sistem tatanan sosial, gaya hidup
maupun daya kreatifitas hidup rakyat.
Menanggapi
kemelut yang terjadi ditengah kehidupan berbangsa, seharusnya kita mulai sadar
bahwa hal tersebut menjadikan cela bagi perkembangan kedepan. Moralitas bangsa
kita yang telah ambruk oleh idealisme jabatan dan posisi kemasyarakatan sudah
terlalu parah untuk bisa dikomparasikan dengan nilai-nilai baik yang tercipta
pada kehidupan. Saat ini telah banyak berkembang Generasi-generasi peniru, yang
tak memberikan manfaat sedikitpun bagi grafik kehidupan rakyat kita. Masyarakat
semakin phobia dengan apa yang dinamakan budaya sendiri sehingga mereka alergi
terhadap pengembangan dan penempatan kebudayaan. Nilai pesimistis pun terjadi
sekiranya semua dampak buruk tersebut berkembang menjadi pola pikir kebanyakan
orang awam, ditengah kelangsungan perkembangan negara kita pastinya akan
diiringi monopoli tak baku atas pemikiran subjektif akan langkah perubahan.
Semakin gencar krisis kepercayaan merupakan hasil sempurna atas latar belakang
penyimpangan prosedur terlaksana pada hal perpolitikan, tak akan menjadi hilang
dalam ingatan kita berbagai kasus yang menyinggahi pejabat dan orang-orang
kepercayaan rakyat, selain itu juga banyaknya teladan-teladan yang dipedomani atas
pembentukan wacana gaya hidup secara eksplisit tak akan sesuai dengan budaya
keadatan kita. Tampaknya dalam pemberitaan media banyak hal negatif yang selalu
dikumandangkan secara beriringan dari stasiun televisi “ini” dan “itu”. Kita
telah belajar dari media massa dan dari sebagian atau seluruhnya, tata cara
berkorupsi dengan santun, telah terlenakan atas kemustahilan hidup pada animasi
instan dari sudut pandang perjuangan pembangunan, selain itu juga masih banyak
orang indonesia yang tak betah lagi untuk menyinggahi Indonesia karena berbagai
wawasan keindonesiaan yang tiada lagi eksistensinya. Berbagai hal tersebut
mungkin telah termaklumi, tak perlu menyalahkan para bapak pendahulu kita yang
memulai kecelakaan sejarah, tidak akan diperlukan lagi demonstrasi yang
digerakkan dengan kepentingan personal, banyak hal yang telah melenakan kita
dan semua hal itu menjadi suatu hal lumrah dan akan timbul disetiap tahunnya.
Gambaran
kebangsaan yang telah disebutkan diatas memiliki indikasi atas kurangnya
pembentukan individu, walaupun masih banyak sebab pendukung atas terhambatnya
perpindahan kelas kita (dari bentuk negara miskin serta terbelakang kearah
negara berkembang atau begitu juga dari fase perkembangan kepada bentuk negara
maju) yang mencakup kepada bentuk sistem, hukum acara maupun medan
diterapkannya sistem akan tetapi hal yang paling mendasar yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana membentuk mental perseorangan dan institusi yang
bermoral. Hal tersebut jauh dikatakan cukup karena unsur keagamaannya selalu
disingkirkan sehingga banyak penyimpangan terjadi karena lupa akan Tuhannya.
Kredibilitas kita sebagai bangsa yang beradab dipertaruhkan dengan satu
persoalan politik krusial, persoalan manifestasi wawasan agama dan berketuhanan
tak dapat disingkirkan dengan prihal bahwa topik yang kita hadapi dan masuki
adalah tentang persoalan keduniaan dan sosial. Keengganan kita (umat islam)
sebagai pembentuk isu-isu dunia perpolitikan menggambarkan bagaimana
pragmatisnya referensi. Asumsi tentang kawasan wilayah politik yang tak boleh
terjangkau akan permasalahan dan solusi agama menggambarkan terlalu taqlid
terhadap apa yang dikembangkan dan digemborkan oleh beberapa tokoh islam
nasional. Pemahaman seperti itu memberikan berbagai suku kata baku untuk umat
Islam Indonesia tentang ketidak-becusan umat kita menjadi pengayom atas
kehidupan sekitar, dan juga tidak bisa menjadi duta terhadap nilai “Rahmatan lil‘Alamin”.
Dengan
beberapa problematika kebangsaan diatas, semua hal tersebut menumpulkan
konsentrasi Indonesia menjadi negara berkembang secara utuh, dari berbagai
permasalahan kehidupan berbangsa yang mendasari kemelut tersebut adalah tidak
terpolanya ujung permasalahan, dan ujung permasalahan tersebut berada pada
euforia kehidupan politik. Terkesan sering kehidupan politik bangsa kita
diragukan dengan berbagai cela, intensitas politik yang ada didalam
obrolan-obrolan masyarakat adalah merupakan bentuk sistem yang ragu, bentuk
sistem yang telah terbohongi sehingga penyesalan kepercayaan mereka
(masyarakat) terhadap para elite semakin menjadi. Sebenarnya menjadikan
dinamika ketidak-tahuan orang awam merupakan kebodohan terorganisir, sebagai
titik awal penderitaan dalam kehidupan mereka. Beberapa kali kita memperhatikan
gelagat perkembangan kualitas pemilu tahun sebelumnya walaupun telah berada
pada fase reformasi dan demokrasi kebangsaan akan tetapi esensi dari apa yang
dimaknakan dalam hal pemilu demokratis bebas, rahasia maupun elektabilitasnya
sangatlah mengecewakan. Masih banyak hasil dari ajang pemungutan suara terbesar
tersebut sarat dengan politik pencitraan, permainan kekuasaan maupun dengan
politik penyuapan.
Politik,
berbicara tentang hal ini mungkin layak kita gambarkan sebagai titik tolakan
terhadap pengaruh kedepan dari aspek kehidupan selanjutnya. Masalah politik
adalah masalah dasar yang menggiring praktisinya maupun objek dari politik (dalam
hal ini adalah masyarakat) memasukan dan menikmati keadaan akibat yang dibentuk
dengan proses politik yang diterapkan. Selain itu juga mengatakan bahwa
praktisi politik yang selama ini berkecimpung di negara ini masih sangatlah
awam, mereka tak terbekali dengan moralitas kebijaksanaan dan rasa akan
bertanggung jawab sehingga sering kita mendengar amanah-amanah pembangunan yang
diharapkan akan terlaksana dan terpenuhi ternyata terbengkalai begitu saja. Hal
tersebut disebabkan atas ke-awaman masyarakat kita tentang pendidikan politik dan
anggapan ketidak-tahuan tersebut didukung dengan berbagai upaya mawas diri atas
ruang politik yang terbuka lebar untuk menghancurkan sistemasi kehidupan
sosial.
Berangkat
dari sudut pandang bahwa porsi pemerintahan dan politik sosial tak pernah
diambil oleh orang Islam (dalam hal ini Islam yang memang terealisasi sebagai
keseharian nilai-nilainya walaupun pada kenyataannya ada orang islam yang
menjabat, akan tetapi itu sekedar label legalitas keagamaan tanpa rasionalitas
prilaku), penulis memberikan wacana dimana akan adanya sisi tersendiri yang
diperuntukkan generasi santri baik dari kalangan pondok salaf maupun modern.
Tujuannya bukanlah untuk mengajarkan dan mempengaruhi santri kearah politik
yang dikatakan kotor akan tetapi tujuan utama merupakan bentuk kesatuan visi
membangun negara beradab dan berketuhanan. Selain itu juga dalam tulisan ini
akan dipaparkan beberapa hal yang mungkin perlu dipersiapkan untuk mengambil
alih peran-peran sentral dalam pemerintahan.
Memfungsikan
Generasi Santri, merupakan salah satu penghargaan atas upaya umat islam
menciptakan generasi ber-azaskan keagamaan, bentuk pelegalan tentang adanya
esensi dan volume kuat saat ini berkembang pesat dengan membentuk berbagai
wacana baru dimana dalam pendidikan harus dilandaskan atas nilai-nilai ideologi
keagamaan, seiring perkembangan hidup mengarahkan kepada hal yang tabu dan
harus dilakukan. Mulai dari sekarang paradigma yang berkutat pada dunia
pesantren seharusnya telah dirubah. Banyak dari santri dan praktisi pondok
pesantren memiliki kredibilitas kerja maupun kinerja sempurna dengan
keterampilan khas pesantren. Sudut pandang lain yaitu apabila umat islam
khususnya intelektual muslim tak memanfaatkan maka akan ada proses
berkelanjutan dimana posisi-posisi tersebut ditangani oleh orang-orang yang tak
memiliki berbagai aspek mendukung kehidupan secara sistematis.
Pesantren
dalam istilah eksistensi moral bangsa merupakan lapisan terpenting dalam
mempertahankan akulturasi dan otentisitasnya. Tak akan pernah terpindahkan
kepada hal lain, maka dari itu pesantren memiliki posisi penting dan sangat
berjasa terhadap Indonesia.
Pesantren
merupakan transformasi nyata dakwah Islam Indonesia. dengan semakin meluas
jangkauan interaksi dan komunikasi baik antar daerah maupun antar negara, kehidupan
dimasyarakat kita mengalami evolusi, fase perubahan dalam kehidupan masyarakat
dipengaruhi nilai-nilai yang dibawa oleh negara lain, terjadinya asimilasi
dalam kehidupan sosial, budaya dan agama. Perpindahan orientasi pola berpikir
masyarakat menuntut kita dalam dunia kepesantrenan membuka ruang baru dalam
berpikir dan menyingkapi kehidupan masyarakat tidak lagi akan terpengaruh atas
upaya kita mengembalikannya dengan upaya dakwah yang minimalis terbingkai hanya
dalam kajian tabligh akbar, khutbah jum’at, kuliah tujuh menit, pengajian
ibu-ibu taklim maupun bimbingan rohani para dai’, bagi dunia pesantren dan
dunia yang kita miliki hal pertama adalah merancang format-format kebangsaan sebagai
generasi islam mengalokasikan dakwah, dan pasti titik yang akan terfokuskan
kepada hal politik.
Berbicara
tentang politik, bukan berarti hanya terkonteks kepada pemenuhan kuota suara
dukungan ataupun meleburkan dirinya kedalam partai politik. Selain itu juga
bukanlah sebuah istilah yang tabu jika kita membicarakan politik dengan
mengaitkan dengan adanya term kepentingan didalamnya. Menggagaskan sistemasi
yang beradab merupakan hakikat dari politik dan pengembangan secara temporal
kemenangan tujuan institusi maupun negara sebagai main goal dalam kehidupan berpolitik. Berpolitik dalam beberapa
kaidah mengantarkan kita kedalam bentuk penanganan suatu masalah dan politik
merupakan sarana legal yang diamanatkan dalam setiap konstitusi baik yang
bersifat kodifikasi maupun non-kodifikasi. Berkaitan sebagai bagian dari
hierarki kebangsaan, santri merupakan intelektual religi yang selama ini
dikesampingkan atas posisinya dalam masyarakat.
Alasan
utama kita mengenalkan dunia politik kepada santri dan kalangan pesantren dalam
istilah hukum kosmos yang dipaparkan oleh Sayyid
Qutb dimana elemen keislaman indonesia yang tertuang pada kepesantrenan
memiliki konfigurasi teologis baik hakikat maupun teoritisnya. Sistem
perpolitikan yang sejak masa nabi dicontohkan sebagai upaya strategi dakwah
memiliki cakupan prinsip berkenaan tentang teori keadilan, Syura, kebebasan dan persamaan yang jika dibandingkan dengan sistem
demokrasi tak akan berbeda jauh. Selain itu juga dalam fiqh siyasiyah yang digagaskan oleh pergerakan harokah memberikan
landasan dimana perjuangan Islam yang terwakilkan pada dunia pesantren
mengibaratkan tidak tertutup kemungkinan menjalar kedalam dunia kebangsaan dan
kehidupan bernegara. Kontrol sosial yang akan dibangun tidaklah terpusatkan
kepada kelayakan dalam mencitrakan diri, akan tetapi lebih mendalam lagi kepada
peran keikhlasan yang dalam bimbingan sesepuh maupun kiai. Selain itu juga
perbandingan bangsa kita apabila praktrisi kepesantrenan tidak pernah peduli
kepada bangsa, akankah mereka rela semua porsi pemerintahan dipenuhi oleh orang
tak bermoral dan tak ikhlas?
Santri
sebagai salah satu benteng tumpuan bangsa dalam pertahanan martabat dan esensi
budaya diharapkan menggeliat lebih peduli dan tanggap dengan kehidupan sosial sehingga
tak akan pernah lagi diceritakan hilang dan cela mengenai peran terhadap
negara. Saat ini hanya baru beberapa orang saja yang memiliki background santri
dan lulusan terbaik dari pondok pesantren yang memasuki zona perpolitikan
bangsa. Mereka adalah aset yang sangat berharga dan mengiringi perkembangan
sejarah walaupun pengaruh nilai-nilai moral keislaman tak begitu keras
terlihat. Fiqh siyasiyah yang digagaskan merupakan gabungan terhadap
kebijaksanaan sosial dan solusi muamalah agama. Poros perpolitikan yang akan
tercipta merupakan kesinambungan keprihatinan terhadap kerusakan moral yang
terjadi, santri memformatkan pola pikir untuk membangun dan mengembangkan dalam
lingkup sewajarnya, terlepas dari sudut pandang pesantren salaf maupun modern.
Kehidupan santri merupakan ciri individu tangguh dan visioner, memenuhi 10
karakter yang dikategorikan dan dirumuskan Hasan
Al Banna sebagai salah satu tokoh aktivis gerakan muslim negarawan.
Modifikasi
baku yang dibawa dalam pengembangan politik kepesantrenan ditekankan pada
karakteristik praktisi dalam menghadapi bentuk-bentuk pemerintahan. Saya kira
dalam kehidupan pesantren nilai ikhlas maupun budaya kebesaran keadilan dan
persamaan tersimpul erat. Pemanfaatan potensi tersebut bukanlah upaya
intimidasi dan penyimpangan hakikat pesantren, karena keterbatasan kondisional
diluar area pesantren menuntut adanya beberapa tambalan dukungan dan
pencerahan. Dalam penjalanan roda amanah jabatan hal terpenting adalah dimana
tercipta konsep “Sam‘u wa ‘atha’u
”. diperlukan konsep tersebut didasarkan
alasan mengintrospeksi kedaulatan yang telah dibangun oleh pemerintahan para
Rasul dan Sahabat.
Berkaca
kepada bentuk politik yang contohkan oleh rasul, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah adanya sistem Syura
Demokratik yang lebih berbeda dengan demokrasi barat yang metodelogis.
Bentuk ini mengedepankan ‘aqdul Ba’iah (kontrak
politik kesetiaan) terhadap pemimpinnya. Hal ini adalah hal mendasar karena kesetiaan
merupakan upaya menumbuhkan bentuk amanah sebagai praktisi pemerintah. Konsep
diatas tidak membentuk praktisi (diharapkan santri) untuk taqlid buta, kesetiaan yang tergambar pun dimaksudkan
kesetiaan diimbangi dengan sikap kritis dan mau dikritisi, sebagai bentuk
keterbukaan dalam berpolitik.
Jadi
secara jelas, untuk semakin memberikan bentuk kontribusi maka bagi santri
seperti kita tak ayal harus berkecimpung kepada kehidupan perpolitikan bangsa.
Inti dari pembahasan tersebut bukan memprovokasi agar pihak pesantren
berkecimpung dalam partai politik, yang saya tekan kan dalam pembahasan wacana
ini adalah semakin kuat volume kontribusi dunia kepesantrenan sebagai salah
satu bagian tata masyarakat, dan juga di harapkan santri-santri dapat menjadi
tauladan berpolitik dengan tidak mengedepankan asumsi layak atau tidak layak,
selama terdapat kebaikan dan terpenuhi kinerja tidak masalah untuk mengambil
jalan tersebut untuk mendukung pembangunan.
Selanjutnya
perubahan yang maksimal akan ditemukan dalam bentuk politik yang dijalankan
oleh santri, keberadaan amanah akan semakin diperhitungkan. Kedisiplinan bagi
setiap orangnya akan terlaksana dan managemen keikhlasan sebenar-benarnya akan
dapat menghambat bentuk korupsi yang marak terjadi dikalangan anggota dewan
maupun pejabat publik.
Hal
yang perlu dibangun setelah adanya pendasaran aqidah dan kemuliaan nalar maupun
moral adalah bentuk strategi-strategi politik dan esensi dasarnya. Kita ketahui
pada pendidikan dan kurikulum pondok salaf maupun modern masih minim akan
adanya pembinaan dan pematerian atas pendidikan politik. Hanya pelajaran
kewarganegaraan ataupun PMP yang memberikan wawasan terbatas tentang kehidupan
kebangsaan. Sebenarnya dalam kehidupan sosial pondok pesantren praktik
nilai-nilai demokrasi telah diterapkan secara baik dan benar dengan
peraturannya. Dilihat dari struktur organisasi santri pun telah berjalan bentuk
penerapan politik secara garis baku. Pendidikan perpolitikan, secara garis besar
mengasimilasikan prinsip dasar politik dengan nilai moral agama bentuk yang
akan didapatkan merupakan satu terapan yang mengedepankan kemanfaatan peran
setiap pelaku dengan memberikan maslahat.
Pendidikan
politik merupakan nilai praktik, dan meng-agama-kan politik menjadi lebih
santun dan terarah merupakan keinginan setiap masyarakat. Hal ini disebabkan
karena masyarakat bosan dengan politik yang asusila, tiada memiliki kehormatan
dan rasa malu dengan alasan-alasan hak asasi manusia. Santri yang menjadi teladan
dalam ilmu keagamaan dapat menjadi acuan lain dalam berpolitik. Santri
memberikan sudut pandang ukhrowi dan duniawi secara jelas dengan berdasarkan
pemahaman keagamaaan yang berdasarkan kepada kewajaran. Santri dapat memberikan
pencerahan baru terhadap asumsi berbagai masyarakat tentang politik yang
terlalu sempit sekarang ini. Dengan kehadiran santri sebagai praktisi politik
semakin membuka peluang kontribusi kepada umat secara langsung atas perjuangan
sebelumnya memenuhi bekal dalam berkehidupan. Santri dalam politik mengawalkan
adanya transformasi dakwah yang selama ini sempit maknanya. Santri yang
berkecimpung dan mulai berurusan dalam hal kenegaraan merupakan kontribusi yang
utama dan paling nyata untuk diberikan kepada negara ini tanpa menghilangkan
kasta yang selama ini dibangun oleh asumsi masyarakat.
Sekarang
pesantren merupakan tren untuk membangun kekuatan martabat bangsa, santri
merupakan aktivis yang mengkaji berbagai sosialitas beragama dengan
pertimbangan kemaslahatan bagi seluruh elemen masyarakat, dan juga pendidikan
moral menjadikan mereka bertahan terhadap amanah-amanah kepemerintahan.
Bukanlah merupakan sebuah cela maupun aib jika bangsa ini dipimpin dan
ditangani oleh santri, hal tersebut merupakan keistimewaan dan akan membantu
menghadirkan berbagai kerahmatan dipenjuru alam.
Dengan
kata lain antara dunia kepesantrenan dengan pemerintah harus adanya komunikasi
untuk membangun tatanan baru terlepas kasta yang selama ini disematkan oleh
wacana-wacana lokal Indonesia.
Edisi
terbaru dalam wacana kepesantrenan dalam memaksimalkan peran dunia pesantren
untuk membangun negeri sudah dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya. Selama
ini pesantren berdiri sendiri dalam operasionalnya secara terpisah akan tetapi
semenjak tahun 1990 telah mendekat dan berkoordinasi dengan pemerintah. Langkah
pendekatan pemerintahan dilakukan dengan harapan akan adanya pemenuhan
kewajiban akan tugasnya mensejahterakan masyarakat selain itu harapan dari
pemerintah adalah pesantren dapat mencetak generasi santri berkompeten.
Pondok
pesantren semakin dekat dengan pemerintah memberikan peluang bagi santrinya
untuk mengembangkan teologi kebangsaan, memberikan posisi yang sepantasnya
diisi oleh santri yang telah terbina. Kita sebagai momok utama dalam perkembangan
pesantren dan bangsa harus memulai meminimalisir bentuk politik dan
sistematisasi kehidupan pemerintahan yang tak sesuai dengan areal harapan
konstitusi. Santri membentuk areal terbaru dengan tidak meninggalkan
nilai-nilai dasar yang telah tertuang didalam Nash-nash keagamaan maupun
Pancasila, memisahkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari nilai-nilai Agama
adalah upaya untuk merumuskan pemerintahan Amoral dan tak beradab. Agama adalah
sekat-sekat yang menjaga pada lintasan sewajarnya untuk mencapai tujuan Negara
yaitu mensejahterakan dan memakmurkan rakyat yang beraada didalamnya.
Pada
akhirnya dengan adanya koordinasi searah, diharapkan indonesia menjadi lebih
baik dan berkembang. Hidup mahasantri Indonesia, Politik bersih Yes, kedholiman
No.
Semoga artikel MENJADIKAN INDONESIA LEBIH BAIK SANTRI DAN POLITIK BANGSA bermanfaat bagi Anda.
Posting Komentar