Kisah Mengaji : Catatan Seorang Santri

Posted by imam sahal On Sabtu, 13 Oktober 2012 0 komentar


Kisah Mengaji : Catatan Seorang Santri. Ada satu kisah yang agak menggelikan. Hari kemarin (13/10) selepas Ashar sebagaimana biasa, santri mahasiswa di PP Diponegoro mengaji kitab klasik dibawah wurukan Mbah Makmun (Ketua NU Sleman). Pukul 16.00 ruangan Aula sudah dipenuhi anak-anak yang akan mengaji. Lalu Mbah Makmun memulai pengajiannya. Saya sendiri yang waktu itu baru saja selesai berkerja (kerja saya: mengecek inbox FB) datang sedikit terlambat. Lalu duduk dibarisan paling belakang. Sore itu kitab yang dikaji adalah kitab Ushul Fiqh. Dan saya sendiri bukannya membawa kitab tersebut, malah membawa buku karangan Daniel L Pals, Seven Theories of Religion. Mungkin gara-gara sedang kegandrungan teori. Jadi rada-rada “candu” dengan buku-buku bertemakan sosio-antro. Saat saya tengah asyik masyuk menyelami pikiran-pikiran Mircea Eliade, teman saya yang duduk disamping saya (yang tengah sibuk me-logat kitabnya) menegur saya. “ Welah. Boy! Apalah gunamu datang mengaji sedang kau malah bawa buku macam ‘tu” hardiknya dengan suara keras. Sontak kawan lain pun memperhatikan saya. Automatically, Mbah Makmum yang tengah membaca kitab langsung berhenti. “Ono opo toh Nduk?” “ Enggg.. Anu Mbah…” saya agak kikuk untuk menjawab Mbah Makmun. Namun sebelum saya sempat menjawab, si penegur tadi menambah justifikasinya. “ Ini loh. Si Imam mau ngaji bukannya bawa kitab, malah bawa buku.” “ Benar itu Nduk?” “ Nggih Mbah” jawab saya sekenanya. “ Huh. Payah Boy! Mau mencangkul kok gak bawa cangkul. Kalo mau nyangkul emas yah bawa cangkul. Gimana mau dapet emasnya” lajut si penegur dengan ketus. Saya tidak segera menjawab, hanya melihat bagaimana ekpresi Mbah Makmun. Seperti biasa Mbah Makmun (dengan gaya Dalai Lama yang penuh ketenangan) melepas kacamata tuanya. “ Ada argumen? Imam?” Ini kesempatan untuk menjawab, ucap saya lirih. “ Begini Mbah. Analogi teman saya yang ketus tadi mungkin bisa benar. Namun saya sendiri datang kesini bukan untuk mencangkul. Saya datang kesini sebagai pengepul (pengumpul) emas. Saat teman-teman sibuk mencangkul, saya hanya duduk ditepi sawah dan mengawasi mereka. Ketika mereka menemukan emas, barulah saya mengambilnya. Lalu membiarkan teman-teman mencangkul lagi. Sedangkan saya kembali mengawasi. Meski saya membaca buku, telinga saya tetap awas dan menangkap apa yang Mbah bacakan. Jadi bisa dikatakan ‘kelas’ pengepul dan pencangkul itu beda.” Jawab saya dengan sedkit panjang lebar. Mbah Makmun tersenyum lebar. Saya juga tersenyum lalu membiarkan si penegur tadi larut dalam gerutuannya yang berkepanjangan. PP Diponegoro, selepas Ashar. Imam Sahal Ramdhani. Copyright. Kisah ini juga ditayangkan di beberapa situs:
Semoga artikel Kisah Mengaji : Catatan Seorang Santri bermanfaat bagi Anda.

Jika artikel ini bermanfaat,bagikan kepada rekan melalui:

Posting Komentar