Home »
Dialektika
» Membicarakan Indonesia : Antara Dongeng dan Realitas
Membicarakan Indonesia : Antara Dongeng dan Realitas
Membicarakan Indonesia : Antara Dongeng dan Realitas
oleh: Hafidz Aitam (Santri IAIN Semarang)
Rangkuman:
Pergolakan
kehidupan sosial politik indonesia diibaratkan seperti cerita dongeng yang
belum tuntas naskahnya. Berbagai anti klimaks menjadi topik diskusi antar
kalangan yang masih merasa sedih dengan keadaan yang terjadi. Akumulasi
kebobrokan bangsa bukanlah merupakan dosa turunan yang diwariskan dari
pendahulu kita, lebih tepat dikatakan sebagai manifestasi kekeliruan penjalanan
sistem. Karena telah terjadi, menyelesaikan hal tersebut harus memiliki dasar
pikiran tentang alurnya, apakah bangsa ini akan dimaju-mundurkan, ataukah
sesuai alur maju terus tergantung kita menyikapi dan mengatasinya. Tulisan ini
sekedar memberikan wacana singkat dari berbagai wacana kenegaraan yang ada,
semoga bermanfaat.
“Diskusi besar belum saja usai”,
kalimat tadi merupakan awalan yang bisa dikaitkan dengan kondisi kehidupan
berbangsa dan bernegara kita saat ini. Mendiskusikan bagaimanakah negara yang
kita cintai keluar dari keterpurukan, berhenti dari bencana yang berkepanjangan
dan mulai hidup damai seperti kisah roman itu sangat sulit terjadi. Dengan
berbagai katalog permasalahan yang semakin mewacana, baik dari hal keuangan
rakyat, yang dimana makin sulit menemukan kelayakan porsi gaya hidup sampai
dengan permasalahan pejabat, dengan kesantunannya mengambil uang-uang negara.
Hal tersebut merupakan bahan cerita komik yang baru untuk penggiat manga di
Indonesia.
Membicarakan kemajuan dari kriminalisasi
publik tidak akan habis-habisnya, karena
titik temu yang akan diberikan adalah dimana dengan dana hangat tersebut semua
orang tak berbicara, suap-menyuaplah intinya. Bagi bangsa kita, korupsi
bukanlah sebuah tindak kriminal yang dipermasalahkan lagi akan tetapi korupsi
sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan oleh kakek-kakek kita. Permasalahan
lain yang dianugerahkan kepada kita sangat banyak diantaranya: Kelaparan adalah
program puasa non ramadhan dari pemerintah yang semakin berkembang disaat
negeri-negeri tetangga sudah berbuka. Makelar kasus merupakan rekan kerja
pemerintah yang paling dermawan mengalirkan dana suapan. Para sipir sudah di booking
untuk mempermudah para tahanan
kehormatan untuk berdarmawisata ke Bali, atau lebih jauh lagi ke Thailand,
Filipina, Malaysia, Singapura dan lain sebagainya. Rumah-rumah tetangga sudah
habis digusur menteri urusan penataan kota. Anak-anak indonesia sudah lebih
berani main bom, lebih sangar daripada main petasan. Dan lebih banyak lagi anti
klimaks dipertengahan jilid cerita bangsa ini.
Menjadi bangsa indonesia, setelah
tertibnya program dekadensi moral dari berbagai lini kemasyarakatan
menghilangkan ciri dan keunikan kita, malu sepertinya sudah tak bernilai lagi.
Masyarakat semakin nyaman dan pantas menggunakan celana ketat dari pada
menyarung dengan kain-kain batik. Selain itu juga ludruk banyolan orang jawa
lebih sepi daripada kelakar drama sitkom modern orang-orang pirang. Bukan nilai
plus lagi yang akan didapatkan jika hidup berbangsa terorientasi terhadap
posisi orang asing. Cukup sudah jika permasalahan tersebut diperpanjang.
Dengan adanya realita tersebut, kehidupan
berbangsa yang kita alami merupakan dramatisasi berbagai pihak yang tidak mau diekspose
kepada publik. Berbagai keterpurukan baik itu semakin melestarinya korupsi-
kolusi- nepotisme, semakin bodohnya rakyat kita dengan politik kharisma
dan politik uang, hilangnya ilmu-ilmu dibenak para sarjana, sampai dengan
pensiunnya Hakim-hakim yang adil merupakan akumulasi kegagalan sistem
pemerintahan di Indonesia. Dalam kaitan hal ini saya tidak akan
mempermasalahkan sistem pemerintahan dan sistem perpolitikannya, karena kita
ketahui setiap sistem mengantarkan kita untuk mencapai tujuan. akan tetapi yang
perlu dikoreksi adalah dimana pola managerial personaliti bagi setiap
pemegang kekuasaan yang harus diberikan shock therapy.
Untuk mengungkap sistem kebobrokan bangsa ini
sangatlah mudah, dari sistem pemerintahan tingkat RT/RW sampai dengan dewan
Perwakilan bagi rakyat indonesia memiliki cerita-cerita tersendiri. Dengan
adanya euforia kebangsaan seperti ini, hukum manusia tidak mempan lagi untuk
dijadikan pertautan masalah kebangsaan, sehingga ada wacana baru dengan
melibatkan unsur-unsur keagamaan pada masalah ini. Sayangnya mayoritas
orang-orang yang melakukan korupsi dan sebagainya tidak pernah menakuti Tuhan,
bahkan pada masalah ini anggaplah mereka mengikuti ajaran atheis yang
tak pernah menanggapi nilai-nilai Keilahian sebagai sudut mutlak ketaatannya. Sebenarnya
kegiatan sosial korupsi tidak perlu lagi memerlukan pertimbangan MUI untuk
dilegal-formalkan sebagai dosa besar, karena hal tersebut sudah nyata, fatwa-nya pun dikira sudah tak asik lagi
untuk diperdebatkan ahli-ahli hukum fiqh maupun syari’at.
Analogi berbangsa yang sejahtera saat
ini tidaklah dipikirkan sebagai bentuk baku atas kemaha-besaran negara, akan
tetapi bagi pihak yang berkepentingan menjadikan negara ini sebagai jalan meraih
pesugihan, selain itu juga sudah sangat sering pejabat masuk infotaiment,
bahkan lebih tersohor dari bintang-bintang FTV di televisi swasta, banyak pula study tour yang memberikan
plesiran nonformal terhadap aktivis dewan Rakyat, sangat miris jika
dipikirkan.
Nilai jual bangsa indonesia sebagai
bangsa yang berdaulat bersih dan transparan tampaknya masih jauh, terkalahkan
dengan pamor negeri jiran dan negeri gajah putih. Reformasi yang mulai berdiri
sejak kudeta kepemerintahan Alm. Suharto saat ini masih labil. Konsep Reformasi
di Indonesia merupakan bentuk baru dari berbagai asimilasi kebudayaan daerah,
sehingga muncul bentuk reformasi Jawa, reformasi Kalimantan, reformasi Aceh,
reformasi Sumatra, reformasi Bali, reformasi Papua, reformasi Maluku, reformasi
NTB & NTT yang bersatu digedung kebangsaan dan dewan negara.
Bangsa kita belum terlalu dewasa untuk
mengalami kemajuan pola pikir, bukti yang jelas dimana masih banyak orang terlalu
gagap untuk berpolitik, rakyat indonesia gentar untuk menakut-nakuti pejabat
yang mulai nakal dengan kritikannya. Masih banyak ditengah bangsa kita yang
tidak terbiasa menghadapi euforia kehidupan berpolitik, sehingga orang-orang
yang awam terhadap perpolitikan dan dunia kewarganegaraan terkesan men-Dewa-kan
yang sebenarnya tidak pantas untuk didewakan. Kemelut yang terjadi bukanlah
salah pemerintah, karena pemerintah merupakan oknum yang terpilih dari
pemilihan umum, koreksi yang diberikan adalah kepada rakyat pemegang suara
kemajemukan hasil, solusi pertama untuk menetralisir hal tersebut adalah
memberikan nilai-nilai politik sehingga taraf pengetahuan mereka dalam hal ini
masyarakat kelas bawah semakin berkembang, bisa berupa sekolah politik ataupun
dengan dimasukkannya kurikulum berpolitik yang santun dan bersahaja dibangku
sekolah dasar, menengah maupun atas.
Selain itu diperlukannya kelembagaan
yang menangani berbagai permasalahan tadi, diantara solusi yang ditawarkan adalah
memberdayakan aparatur negara atau membentuk term baru sehingga memiliki keabsahan
aksi Untuk mengatasi peran tersebut. lembaga-lembaga super power baik
KPK, Polri, Lembaga Yudikatif tertinggi negara maupun lembaga Hukum lainnya
sepertinya dijadikan penawar atas borok yang telah membusuk dipantat bangsa
kita, akan tetapi lembaga-lembaga ini merupakan salah satu lakon pemanis
didalam cerita ini, yang bisa didekati, diajak berdiskusi dan bersepakat
membangun kerangka karangan yang mereka inginkan.
Mari
kita bahas sudut pandang dan keadaan dari beberapa lembaga diatas. yang pertama
KPK atau komisi pemberantasan korupsi, lembaga ad hoc khusus terbentuk
untuk menangani permasalah korupsi dan makelar-makelar penggelapan aset-aset
negara dibawah pimpinan Antasari Azhar. Pada awal masa berdirinya lembaga
pemberantasan korupsi ini tampaknya menjadi primadona pertama dan pilihan untuk
dijadikan tempat bergantung. Kelembagaan yang dibentuk pada tahun 2003 didasarkan terhadap Undang-undang 30 tahun
2002 memberikan kontribusinya dengan tegas mengungkap oknum dan badan yang
dianggap tidak beres dalam masalah keuangan. KPK adalah upaya berkelanjutan penindakan
korupsi yang sudah dimulai sejak orde lama (dengan KUHP dalam UU nomer 24 tahun
1960), orde lama (dengan UU nomer 3 tahun 1971) sampai dengan masa reformasi
ternyata menjadi agenda keseharian pemerintah. Akan tetapi sejak beberapa
petinggi KPK diduga tersangkut kasus pidana, pamor KPK mulai turun sampai saat
ini, lembaga ini tak lagi ditakuti oleh mafia-mafia penggelapan dana dan
pemalsuan data dari kas negara.
Berpindah lagi kepembahasan Polri, salah
satu lembaga pertahanan negara yang diharapkan steril dari berbagai intervensi,
berbanding jauh. Kepolisian republik indonesia tersudutkan kedalam lakon yang
diasumsikan cela, karena sebab beberapa gelintir petinggi nya yang ikut
mendeskripsikan skenario. Pamor yang dimiliki kalah saing dengan KPK ketika
perseteruannya berkaitan tentang klaim bersalahnya Bibit Slamet dan Chandra M.
Hamzah. Setelah itu yang ketiga, Lembaga
Peradilan Negara, tampaknya badan yudikatif terlalu bimbang untuk mencari
berbagai penyakit ditubuh pemerintahan. Mereka terlalu ber-husnudzon kepada
setiap aparatur kepemerintahan. Sampai sekarang MK ataupun MA tidak pernah
mengambil sikap ekstrim untuk memotong saluran oknum yang bermasalah karena
untuk mengamankan kepentingan sesuatu sangatlah berharga dari pada menaikkan
taraf keadilan dan keterbukaan dibangsa ini.
Terakhir yang ingin digambarkan adalah
Lembaga bantuan hukum, berjalan apabila bayaran sesuai dengan perjanjian,
bersuara lantang walaupun yang dibela merupakan residivis adalah seorang yang
tetap rajin mengisi daftar hadir dilembaga pemasyarakatan. Sebenarnya orientasi
kelembagaan tersebut dititik beratkan kepada pengendalian hukum dari hak dan
kewajiban yang ada, sebagai penyeimbangan kelembagaan negara, membantu
masyarakat akan tetapi dengan berbagai
dinamika keuangan dan kekayaan terasa mudah untuk para residivis tersebut untuk
menyewa guru besar hukum dan ahli-ahli hukum yang sekarang ini berprofesi
pengangguran. Kesimpulannya penegak hukum kita tidak lagi profesional,
terkadang juhud terhadap keadilan dan terkadang adil terhadap yang punya uang.
Menjadi orang indonesia, tak hanya
menjadi penonton untuk drama opera sabun gosok. Menjadi orang indonesia
tidaklah riang gembira ketika lakon utama datang dengan ke-fasih-an berbicara
dan bertutur. Menjadi orang indonesia bukanlah menghargai diam dipelataran
terpekur meratapi nasib. Menjadi orang indonesia bukanlah menghabiskan jatah makan orang tua kita dalam
sehari. Menjadi orang indonesia tidaklah tidur ketika ada pemadaman listrik
bergilir setiap minggu terjadi. Menjadi orang indonesia yang bangga akan
kenasionalisannya bukanlah pada pertandingan bola saja. Menjadi orang indonesia
adalah menerima keadaan, mengakui kesalahan, mengintrospeksi kegagalan,
mengaitkan berbagai peluang, menaati prosedur, menerapkan teori terapan, dan
bersikap rendah hati dengan keberhasilan, itulah orang indonesia dalam etos
kemajemukan cerita nusantara. Dalam tulisan ini tidak dimaksudkan untuk
mengkritisi ataupun menghina konstitusi ataupun aparatur negaranya, hal itu
sudah tiada jaman lagi. Saya harapkan adalah dimana kita tergerak untuk
mereaktualisasikan nilai-nilai kepancasilaan dan nilai-nilai keagamaan dalam
bentuk negara yang berwibawa.
Menanggapi latar belakang tulisan ini
dibuat, solusi yang ditawarkan kepada pembaca budiman adalah kita menerapkan
pola daur ulang konstitusi negara. Kita pahami bahwa konstitusi negara
merupakan hukum dasar dalam negara republik ini. Konstitusi negara dalam
pembahasan ini tidak berkutat secara khusus hanya mencakup Undang- undang dasar
1945 saja, akan tetapi kajiannya berkembang kepada konstitusi tidak tertulis
juga. Pola ini dimaksudkan adalah dimana selain dasar-dasar konstitusi yang
disumberkan kepada Undang-undang difungsikan ulang serta adanya perubahan format
dari nilai-nilai konstusi dengan sedemikian mungkin dan juga dibentuk dasar
acaranya, seperti prihal hukum perdata dan pidana dengan hukum acara perdata
dan pidana. Mungkin idealisme konstitusi mutlak tercipta dari deskripsi per-pasalnya,
akan tetapi yang belum terjadi adalah
dimana acara pelaksanaan dari konstitusi tersebut belum diperuntukkan dan
dibuat, walaupun ada bentuknya akan tetapi hal tersebut belum memiliki kekuatan
hukum yang kuat. Letak kesalahan dari kurang optimalnya konstitusi negara
berjalan bukan hanya berasal dari kekurangan nilai ataupun format konstitusi,
akan tetapi perlu dikritisi adalah reaktualisasi konstitusi yang sudah usang,
karena terbentuknya konstitusi kita ketahui disesuaikan dengan keadaan
kemasyarakatan dan kebangsaan pada perkembangan politik yang ada pada tahun
1945. Selain itu juga konstitusi yang telah diamandemen pada awal 1999 sampai
dengan 2004 terlaksana karena adanya kepentingan politik, bukan dikarenakan
adanya upaya untuk memformat sedemikian rupa sesuai dengan keadaan bangsa dan
negara ini.
Pola daur ulang terhadap konstitusi ini
secara garis besar memberikan peluang terhadap perubahan sistemasi dan
kepengurusan kenegaraan. Mengenai kepengurusan saya kira harus adanya regenerasi,
bukan hanya orang-orang politik saja yang mendapatkan kursi disenayan, akan
tetapi potensi muda dari para sarjana seharusnya diberdayakan tanpa memandang
kedangkalan pengalaman dan pengetahuan dari asumsi para tetua. Satu aspek yang
sering dilupakan oleh bangsa kita dalam strata kepemerintahan adalah dimana masih
betahnya bentuk negara ini untuk diisi oleh orang yang itu-itu saja. Kritikan
untuk pemerintah dimana kepala pemerintahan seharusnya dengan adanya teori “tak
ada hasil bisa ditebang dan disingkirkan” sadar dan paham terhadap
kekurangan tersebut karena yang dipertaruhkan adalah nasib bangsa dan
rakyatnya. Kembali terhadap pola daur ulang yang mungkin menjadi solusi
terhadap berbagai kemelut yang menimpa bangsa ini, titik berat dari daur ulang
tersebut adalah pengklasifikasian antara bentuk yang pantas untuk menopang kemajuan
dan kesejahteraan dengan sampah-sampah peradaban, cukup mudah jika dilakukan,
akan tetapi yang sulit adalah menghilangkan intervensi kepentingan kepartaian
ataupun perseorangan.
Permasalahan lain, bangsa ini semakin
didiskreditkan disebabkan dengan adanya kemelut kenegaraan tersebut, solusi
yang mungkin kita ketahui adalah kita membangun personalia bangsa yang tegar,
terkadang bangsa ini jika diremehkan mengandalkan otot untuk menyikapinya,
sebenarnya hinaan bangsa luar merupakan koreksi tajam yang dilakukan sebagai
refleksi kepedulian negara lain terhadap kita. Jika kita bisa bersikap bijak
terhadap statement dari bangsa luar memberikan kita pencerahan bahwa
masih sangat muda dan labilnya kita jika kita menganggap permasalahan
kebangsaan adalah akhir dari cerita tua bangsa kita. Jangan sampai negara kita
berhenti dipertengahan jilid buku, hal itu adalah cela.
Hal lain yang bisa dipertimbangkan
adalah melakukan seleksi ulang terhadap para wakil rakyat, apakah pantas
dirinya ditunjuk sebagai wakil rakyat, kalau memang adanya respon terhadap
wacana ini maka diperlukan format baru terhadap pemilu, hal itu merupakan
kewenangan KPU mengkondisikan perjalanan dalam penentuan wakil rakyat.
Ide gila lainnya yang mungkin dilakukan
sangatlah mujarab untuk dilakukan adalah menjadikan orang tobat dan membawa
mereka kepada jalan kebenaran. Mereka-mereka yang masih belum sadar sepantasnya
mulai mendekatkan diri, kalau diterima boleh dilakukan acara pengajian rutin
ataupun ruqiyah temporal untuk mengeluarkan setan-setan koruptor dari
tubuh-tubuh pejabat kita. Sebagai bangsa yang bijak ataupun bangsa yang
berupaya bijak terhadap permasalahan yang sekarang ini menjangkit, kita tidak
bisa mengandalkan bapak security dipusat perbelanjaan umum, pada titik
kita sebagai penerus kedaulatan bangsa, mahasiswa mulai meng-update kontribusi
kita, real dan materiil, tidak hanya demonstrasi sebagai peluapan tidak sepakat
dan setuju terhadap pemerintahan kita. Seharusnya sebagai generasi yang
memiliki keintelektualan tinggi dari pada petani disawah mampu memperhatikan
segala peluang ditengah kesempitan ini, menjadi generasi yang solutif bukan
berarti susah, mudahkanlah permasalahan yang selama ini menyelimuti kita dengan
intelejensia politica kita, dan menggagaskan ide-ide gila demi
perkembangan negara ini. Hidup Mahasiswa.... hidup Indonesia....... semoga
mencerahkan dan memberi wacana kebangsaan yang lebih baik lagi.
Semoga artikel Membicarakan Indonesia : Antara Dongeng dan Realitas bermanfaat bagi Anda.
Posting Komentar