Membicarakan Indonesia : Antara Dongeng dan Realitas

Posted by imam sahal On Kamis, 11 Oktober 2012 0 komentar



 Membicarakan Indonesia : Antara Dongeng dan Realitas

oleh: Hafidz Aitam (Santri IAIN Semarang)

Rangkuman:
Pergolakan kehidupan sosial politik indonesia diibaratkan seperti cerita dongeng yang belum tuntas naskahnya. Berbagai anti klimaks menjadi topik diskusi antar kalangan yang masih merasa sedih dengan keadaan yang terjadi. Akumulasi kebobrokan bangsa bukanlah merupakan dosa turunan yang diwariskan dari pendahulu kita, lebih tepat dikatakan sebagai manifestasi kekeliruan penjalanan sistem. Karena telah terjadi, menyelesaikan hal tersebut harus memiliki dasar pikiran tentang alurnya, apakah bangsa ini akan dimaju-mundurkan, ataukah sesuai alur maju terus tergantung kita menyikapi dan mengatasinya. Tulisan ini sekedar memberikan wacana singkat dari berbagai wacana kenegaraan yang ada, semoga bermanfaat.


       “Diskusi besar belum saja usai”, kalimat tadi merupakan awalan yang bisa dikaitkan dengan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini. Mendiskusikan bagaimanakah negara yang kita cintai keluar dari keterpurukan, berhenti dari bencana yang berkepanjangan dan mulai hidup damai seperti kisah roman itu sangat sulit terjadi. Dengan berbagai katalog permasalahan yang semakin mewacana, baik dari hal keuangan rakyat, yang dimana makin sulit menemukan kelayakan porsi gaya hidup sampai dengan permasalahan pejabat, dengan kesantunannya mengambil uang-uang negara. Hal tersebut merupakan bahan cerita komik yang baru untuk penggiat manga di Indonesia.
       Membicarakan kemajuan dari kriminalisasi  publik tidak akan habis-habisnya, karena titik temu yang akan diberikan adalah dimana dengan dana hangat tersebut semua orang tak berbicara, suap-menyuaplah intinya. Bagi bangsa kita, korupsi bukanlah sebuah tindak kriminal yang dipermasalahkan lagi akan tetapi korupsi sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan oleh kakek-kakek kita. Permasalahan lain yang dianugerahkan kepada kita sangat banyak diantaranya: Kelaparan adalah program puasa non ramadhan dari pemerintah yang semakin berkembang disaat negeri-negeri tetangga sudah berbuka. Makelar kasus merupakan rekan kerja pemerintah yang paling dermawan mengalirkan dana suapan. Para sipir sudah di booking  untuk mempermudah para tahanan kehormatan untuk berdarmawisata ke Bali, atau lebih jauh lagi ke Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura dan lain sebagainya. Rumah-rumah tetangga sudah habis digusur menteri urusan penataan kota. Anak-anak indonesia sudah lebih berani main bom, lebih sangar daripada main petasan. Dan lebih banyak lagi anti klimaks dipertengahan jilid cerita bangsa ini.
       Menjadi bangsa indonesia, setelah tertibnya program dekadensi moral dari berbagai lini kemasyarakatan menghilangkan ciri dan keunikan kita, malu sepertinya sudah tak bernilai lagi. Masyarakat semakin nyaman dan pantas menggunakan celana ketat dari pada menyarung dengan kain-kain batik. Selain itu juga ludruk banyolan orang jawa lebih sepi daripada kelakar drama sitkom modern orang-orang pirang. Bukan nilai plus lagi yang akan didapatkan jika hidup berbangsa terorientasi terhadap posisi orang asing. Cukup sudah jika permasalahan tersebut diperpanjang.
       Dengan adanya realita tersebut, kehidupan berbangsa yang kita alami merupakan dramatisasi berbagai pihak yang tidak mau diekspose kepada publik. Berbagai keterpurukan baik itu semakin melestarinya korupsi- kolusi- nepotisme, semakin bodohnya rakyat kita dengan politik kharisma dan politik uang, hilangnya ilmu-ilmu dibenak para sarjana, sampai dengan pensiunnya Hakim-hakim yang adil merupakan akumulasi kegagalan sistem pemerintahan di Indonesia. Dalam kaitan hal ini saya tidak akan mempermasalahkan sistem pemerintahan dan sistem perpolitikannya, karena kita ketahui setiap sistem mengantarkan kita untuk mencapai tujuan. akan tetapi yang perlu dikoreksi adalah dimana pola managerial personaliti bagi setiap pemegang kekuasaan yang harus diberikan shock therapy

       Untuk mengungkap sistem kebobrokan bangsa ini sangatlah mudah, dari sistem pemerintahan tingkat RT/RW sampai dengan dewan Perwakilan bagi rakyat indonesia memiliki cerita-cerita tersendiri. Dengan adanya euforia kebangsaan seperti ini, hukum manusia tidak mempan lagi untuk dijadikan pertautan masalah kebangsaan, sehingga ada wacana baru dengan melibatkan unsur-unsur keagamaan pada masalah ini. Sayangnya mayoritas orang-orang yang melakukan korupsi dan sebagainya tidak pernah menakuti Tuhan, bahkan pada masalah ini anggaplah mereka mengikuti ajaran atheis yang tak pernah menanggapi nilai-nilai Keilahian sebagai sudut mutlak ketaatannya. Sebenarnya kegiatan sosial korupsi tidak perlu lagi memerlukan pertimbangan MUI untuk dilegal-formalkan sebagai dosa besar, karena hal tersebut sudah nyata,  fatwa-nya pun dikira sudah tak asik lagi untuk diperdebatkan ahli-ahli hukum fiqh maupun syari’at.  
       Analogi berbangsa yang sejahtera saat ini tidaklah dipikirkan sebagai bentuk baku atas kemaha-besaran negara, akan tetapi bagi pihak yang berkepentingan menjadikan negara ini sebagai jalan meraih pesugihan, selain itu juga sudah sangat sering pejabat masuk infotaiment, bahkan lebih tersohor dari bintang-bintang FTV di televisi swasta,  banyak pula study tour yang memberikan plesiran nonformal terhadap aktivis dewan Rakyat, sangat miris jika dipikirkan.
       Nilai jual bangsa indonesia sebagai bangsa yang berdaulat bersih dan transparan tampaknya masih jauh, terkalahkan dengan pamor negeri jiran dan negeri gajah putih. Reformasi yang mulai berdiri sejak kudeta kepemerintahan Alm. Suharto saat ini masih labil. Konsep Reformasi di Indonesia merupakan bentuk baru dari berbagai asimilasi kebudayaan daerah, sehingga muncul bentuk reformasi Jawa, reformasi Kalimantan, reformasi Aceh, reformasi Sumatra, reformasi Bali, reformasi Papua, reformasi Maluku, reformasi NTB & NTT yang bersatu digedung kebangsaan dan dewan negara.
       Bangsa kita belum terlalu dewasa untuk mengalami kemajuan pola pikir, bukti yang jelas dimana masih banyak orang terlalu gagap untuk berpolitik, rakyat indonesia gentar untuk menakut-nakuti pejabat yang mulai nakal dengan kritikannya. Masih banyak ditengah bangsa kita yang tidak terbiasa menghadapi euforia kehidupan berpolitik, sehingga orang-orang yang awam terhadap perpolitikan dan dunia kewarganegaraan terkesan men-Dewa-kan yang sebenarnya tidak pantas untuk didewakan. Kemelut yang terjadi bukanlah salah pemerintah, karena pemerintah merupakan oknum yang terpilih dari pemilihan umum, koreksi yang diberikan adalah kepada rakyat pemegang suara kemajemukan hasil, solusi pertama untuk menetralisir hal tersebut adalah memberikan nilai-nilai politik sehingga taraf pengetahuan mereka dalam hal ini masyarakat kelas bawah semakin berkembang, bisa berupa sekolah politik ataupun dengan dimasukkannya kurikulum berpolitik yang santun dan bersahaja dibangku sekolah dasar, menengah maupun atas.
       Selain itu diperlukannya kelembagaan yang menangani berbagai permasalahan tadi, diantara solusi yang ditawarkan adalah memberdayakan aparatur negara atau membentuk term baru sehingga memiliki keabsahan aksi Untuk mengatasi peran tersebut. lembaga-lembaga super power baik KPK, Polri, Lembaga Yudikatif tertinggi negara maupun lembaga Hukum lainnya sepertinya dijadikan penawar atas borok yang telah membusuk dipantat bangsa kita, akan tetapi lembaga-lembaga ini merupakan salah satu lakon pemanis didalam cerita ini, yang bisa didekati, diajak berdiskusi dan bersepakat membangun kerangka karangan yang mereka inginkan. 

       Mari kita bahas sudut pandang dan keadaan dari beberapa lembaga diatas. yang pertama KPK atau komisi pemberantasan korupsi, lembaga ad hoc khusus terbentuk untuk menangani permasalah korupsi dan makelar-makelar penggelapan aset-aset negara dibawah pimpinan Antasari Azhar. Pada awal masa berdirinya lembaga pemberantasan korupsi ini tampaknya menjadi primadona pertama dan pilihan untuk dijadikan tempat bergantung. Kelembagaan yang dibentuk pada tahun 2003  didasarkan terhadap Undang-undang 30 tahun 2002 memberikan kontribusinya dengan tegas mengungkap oknum dan badan yang dianggap tidak beres dalam masalah keuangan. KPK adalah upaya berkelanjutan penindakan korupsi yang sudah dimulai sejak orde lama (dengan KUHP dalam UU nomer 24 tahun 1960), orde lama (dengan UU nomer 3 tahun 1971) sampai dengan masa reformasi ternyata menjadi agenda keseharian pemerintah. Akan tetapi sejak beberapa petinggi KPK diduga tersangkut kasus pidana, pamor KPK mulai turun sampai saat ini, lembaga ini tak lagi ditakuti oleh mafia-mafia penggelapan dana dan pemalsuan data dari kas negara.
       Berpindah lagi kepembahasan Polri, salah satu lembaga pertahanan negara yang diharapkan steril dari berbagai intervensi, berbanding jauh. Kepolisian republik indonesia tersudutkan kedalam lakon yang diasumsikan cela, karena sebab beberapa gelintir petinggi nya yang ikut mendeskripsikan skenario. Pamor yang dimiliki kalah saing dengan KPK ketika perseteruannya berkaitan tentang klaim bersalahnya Bibit Slamet dan Chandra M. Hamzah.  Setelah itu yang ketiga, Lembaga Peradilan Negara, tampaknya badan yudikatif terlalu bimbang untuk mencari berbagai penyakit ditubuh pemerintahan. Mereka terlalu ber-husnudzon kepada setiap aparatur kepemerintahan. Sampai sekarang MK ataupun MA tidak pernah mengambil sikap ekstrim untuk memotong saluran oknum yang bermasalah karena untuk mengamankan kepentingan sesuatu sangatlah berharga dari pada menaikkan taraf keadilan dan keterbukaan dibangsa ini.
       Terakhir yang ingin digambarkan adalah Lembaga bantuan hukum, berjalan apabila bayaran sesuai dengan perjanjian, bersuara lantang walaupun yang dibela merupakan residivis adalah seorang yang tetap rajin mengisi daftar hadir dilembaga pemasyarakatan. Sebenarnya orientasi kelembagaan tersebut dititik beratkan kepada pengendalian hukum dari hak dan kewajiban yang ada, sebagai penyeimbangan kelembagaan negara, membantu masyarakat  akan tetapi dengan berbagai dinamika keuangan dan kekayaan terasa mudah untuk para residivis tersebut untuk menyewa guru besar hukum dan ahli-ahli hukum yang sekarang ini berprofesi pengangguran. Kesimpulannya penegak hukum kita tidak lagi profesional, terkadang juhud terhadap keadilan dan terkadang adil terhadap yang punya uang.
       Menjadi orang indonesia, tak hanya menjadi penonton untuk drama opera sabun gosok. Menjadi orang indonesia tidaklah riang gembira ketika lakon utama datang dengan ke-fasih-an berbicara dan bertutur. Menjadi orang indonesia bukanlah menghargai diam dipelataran terpekur meratapi nasib. Menjadi orang indonesia bukanlah  menghabiskan jatah makan orang tua kita dalam sehari. Menjadi orang indonesia tidaklah tidur ketika ada pemadaman listrik bergilir setiap minggu terjadi. Menjadi orang indonesia yang bangga akan kenasionalisannya bukanlah pada pertandingan bola saja. Menjadi orang indonesia adalah menerima keadaan, mengakui kesalahan, mengintrospeksi kegagalan, mengaitkan berbagai peluang, menaati prosedur, menerapkan teori terapan, dan bersikap rendah hati dengan keberhasilan, itulah orang indonesia dalam etos kemajemukan cerita nusantara. Dalam tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengkritisi ataupun menghina konstitusi ataupun aparatur negaranya, hal itu sudah tiada jaman lagi. Saya harapkan adalah dimana kita tergerak untuk mereaktualisasikan nilai-nilai kepancasilaan dan nilai-nilai keagamaan dalam bentuk negara yang berwibawa.
       Menanggapi latar belakang tulisan ini dibuat, solusi yang ditawarkan kepada pembaca budiman adalah kita menerapkan pola daur ulang konstitusi negara. Kita pahami bahwa konstitusi negara merupakan hukum dasar dalam negara republik ini. Konstitusi negara dalam pembahasan ini tidak berkutat secara khusus hanya mencakup Undang- undang dasar 1945 saja, akan tetapi kajiannya berkembang kepada konstitusi tidak tertulis juga. Pola ini dimaksudkan adalah dimana selain dasar-dasar konstitusi yang disumberkan kepada Undang-undang difungsikan ulang serta adanya perubahan format dari nilai-nilai konstusi dengan sedemikian mungkin dan juga dibentuk dasar acaranya, seperti prihal hukum perdata dan pidana dengan hukum acara perdata dan pidana. Mungkin idealisme konstitusi mutlak tercipta dari deskripsi per-pasalnya, akan tetapi  yang belum terjadi adalah dimana acara pelaksanaan dari konstitusi tersebut belum diperuntukkan dan dibuat, walaupun ada bentuknya akan tetapi hal tersebut belum memiliki kekuatan hukum yang kuat. Letak kesalahan dari kurang optimalnya konstitusi negara berjalan bukan hanya berasal dari kekurangan nilai ataupun format konstitusi, akan tetapi perlu dikritisi adalah reaktualisasi konstitusi yang sudah usang, karena terbentuknya konstitusi kita ketahui disesuaikan dengan keadaan kemasyarakatan dan kebangsaan pada perkembangan politik yang ada pada tahun 1945. Selain itu juga konstitusi yang telah diamandemen pada awal 1999 sampai dengan 2004 terlaksana karena adanya kepentingan politik, bukan dikarenakan adanya upaya untuk memformat sedemikian rupa sesuai dengan keadaan bangsa dan negara ini.
       Pola daur ulang terhadap konstitusi ini secara garis besar memberikan peluang terhadap perubahan sistemasi dan kepengurusan kenegaraan. Mengenai kepengurusan saya kira harus adanya regenerasi, bukan hanya orang-orang politik saja yang mendapatkan kursi disenayan, akan tetapi potensi muda dari para sarjana seharusnya diberdayakan tanpa memandang kedangkalan pengalaman dan pengetahuan dari asumsi para tetua. Satu aspek yang sering dilupakan oleh bangsa kita dalam strata kepemerintahan adalah dimana masih betahnya bentuk negara ini untuk diisi oleh orang yang itu-itu saja. Kritikan untuk pemerintah dimana kepala pemerintahan seharusnya dengan adanya teori “tak ada hasil bisa ditebang dan disingkirkan” sadar dan paham terhadap kekurangan tersebut karena yang dipertaruhkan adalah nasib bangsa dan rakyatnya. Kembali terhadap pola daur ulang yang mungkin menjadi solusi terhadap berbagai kemelut yang menimpa bangsa ini, titik berat dari daur ulang tersebut adalah pengklasifikasian antara bentuk yang pantas untuk menopang kemajuan dan kesejahteraan dengan sampah-sampah peradaban, cukup mudah jika dilakukan, akan tetapi yang sulit adalah menghilangkan intervensi kepentingan kepartaian ataupun perseorangan.
       Permasalahan lain, bangsa ini semakin didiskreditkan disebabkan dengan adanya kemelut kenegaraan tersebut, solusi yang mungkin kita ketahui adalah kita membangun personalia bangsa yang tegar, terkadang bangsa ini jika diremehkan mengandalkan otot untuk menyikapinya, sebenarnya hinaan bangsa luar merupakan koreksi tajam yang dilakukan sebagai refleksi kepedulian negara lain terhadap kita. Jika kita bisa bersikap bijak terhadap statement dari bangsa luar memberikan kita pencerahan bahwa masih sangat muda dan labilnya kita jika kita menganggap permasalahan kebangsaan adalah akhir dari cerita tua bangsa kita. Jangan sampai negara kita berhenti dipertengahan jilid buku, hal itu adalah cela.  

       Hal lain yang bisa dipertimbangkan adalah melakukan seleksi ulang terhadap para wakil rakyat, apakah pantas dirinya ditunjuk sebagai wakil rakyat, kalau memang adanya respon terhadap wacana ini maka diperlukan format baru terhadap pemilu, hal itu merupakan kewenangan KPU mengkondisikan perjalanan dalam penentuan wakil rakyat.
       Ide gila lainnya yang mungkin dilakukan sangatlah mujarab untuk dilakukan adalah menjadikan orang tobat dan membawa mereka kepada jalan kebenaran. Mereka-mereka yang masih belum sadar sepantasnya mulai mendekatkan diri, kalau diterima boleh dilakukan acara pengajian rutin ataupun ruqiyah temporal untuk mengeluarkan setan-setan koruptor dari tubuh-tubuh pejabat kita. Sebagai bangsa yang bijak ataupun bangsa yang berupaya bijak terhadap permasalahan yang sekarang ini menjangkit, kita tidak bisa mengandalkan bapak security dipusat perbelanjaan umum, pada titik kita sebagai penerus kedaulatan bangsa, mahasiswa mulai meng-update kontribusi kita, real dan materiil, tidak hanya demonstrasi sebagai peluapan tidak sepakat dan setuju terhadap pemerintahan kita. Seharusnya sebagai generasi yang memiliki keintelektualan tinggi dari pada petani disawah mampu memperhatikan segala peluang ditengah kesempitan ini, menjadi generasi yang solutif bukan berarti susah, mudahkanlah permasalahan yang selama ini menyelimuti kita dengan intelejensia politica kita, dan menggagaskan ide-ide gila demi perkembangan negara ini. Hidup Mahasiswa.... hidup Indonesia....... semoga mencerahkan dan memberi wacana kebangsaan yang lebih baik lagi.

                                                                                    


Semoga artikel Membicarakan Indonesia : Antara Dongeng dan Realitas bermanfaat bagi Anda.

Jika artikel ini bermanfaat,bagikan kepada rekan melalui:

Posting Komentar